MARTONUN
Minggu, 21 April 2013
BULUNG MOTUNG
Pada pembukaan salah
satu syair sastra Batak disebutkan:
Bulung motung si dua
rupa, na bontar nang rata-rata
Terjemahannya: Daun Motung
berwajah dua, yang putih dan yang hijau.
Motung atau gumbot /gubbot/ adalah sejenis tanaman pohon
kayu hutan yang banyak terdapat di dataran tinggi tanah Batak. Sibulung
Motung adalah daun pohon tanaman tersebut
yang mempunyai keunikan yakni terdiri dari dua warna. Permukaan daunnya hijau sedangkan bagian bawahnya
putih bersih. Ukurannya seperti daun jati bisa mencapai panjang satu hasta dan
lebar satu setengah jengkal orang dewasa
Bulung motung pada
masyarakat tradisional Batak dipergunakan untuk pembungkus bahan
makanan, seperti halnya daun pisang atau daun jati. Daun ini juga
difungsikan sebagai piring tempat menghidangkan nasi dan lauk,
sehingga dalam bahasa sastra Batak atau bahasa andung-andung disebut juga pinggan puti harangan artinya piring putih hutan (pinggan = piring; puti = putih dan harangan
= hutan/rimba belantara).
SILUMANGSA IJUR
Suku Batak gemar akan
masakan yang asam, pedas dan agak asin. Rasa asin tentunya berasal
dari garam. Garam bahasa Bataknya: sira. Menurut
William Marsden (1810) dalam History of Sumatra, pada awal abad-19 garam
merupakan komoditi penting dan sebagai salah satu alat tukar perdagangan antara
suku Batak dari pedalaman (pegunungan) dengan masyarakat di tepi pantai bagian
Barat Sumatera.
Garam dalam bahasa
Batak halus atau bahasa andung disebut juga Silumangsa
ijur. “Mungkin atau boleh jadi” silumangsa ijur artinya yang
membuat ngiler atau yang menerbitkan selera (ijur atau tijur =
liur).
Silumangsa
ijur artinya
juga: hujan (Bahasa Batak: Udan)
. Ijur dari kata maijur, mijur = turun, tercurah. Silumangsa dari kata: langsa (laksa) = sepuluh ribu. Jika dikatakan marlangsa-langsa = berpuluh-puluh ribu.
Pada
kamus Warneck (2004), langsa
ijur atau silumangsa ijur = embrio, tunas pertumbuhan bayi.
TATA BAHASA BATAK
Dalam Bahasa
Batak seperti juga Bahasa Inggris, cara pengucapan berbeda dengan
penulisan untuk kata-kata tertentu, dengan ketentuan:
Huruf "ng" dibaca "k" jika diikuti dengan konsonan seperti:
- tingki dibaca tikki = ketika, waktu
- sangkap dibaca sakkap = rencana, maksud, niat
- sangsang dibaca saksang = masakan daging cincang
- daishon dibaca daisson = oleskan, sentuhkan (kata dasar "dais")
- ombushon dibaca ombusson = tiupkan, hembuskan (kata dasar "ombus')
- libashon dibaca libasson = pukulkan, hantamkan (Kata dasar "libas")
- ambalhon dibaca abbalhon = lambungkan; simpangkan
- tundalhon dibaca tuddalhon = belakangi
- gombarhon dibaca gobbarhon = gambarkan
- toparhon dibaca toparhon = pecahkan
Perhatikan juga pada contoh tersebut kata dasar ambal dibaca abbal, tundal dibaca tuddal dan gombar dibaca gobbar. Dalam hal ini berlaku kententuan apabila huruf "m" dan "n" yang diikuti konsonan, maka dibaca mengikuti huruf konsonan berikutnya:
- pantun dibaca pattun = sopan, hormat
- janji dibaca jajji = janji,
- pansur dibaca passur = pancur
- tampuk dibaca tappuk = pangkal
- lambok dibaca labbok = lembut
- Lumban Gaol dibaca Lubbang Gaol
SIGALE-GALE
Sigale-gale Tomok- Samosir ,2010) |
Sigale-gale
bermula dari kisah duka
lara seorang Raja atas putra tunggalnya bernama “Si Manggale” yang
meninggal
karena sakit. Untuk mengenang putra yang dicintainya, ia membuat ukiran
patung dari
kayu yang wajah dan tubuhnya menyerupai anaknya. Patung tersebut diberi
pakaian, ulos dan ikat kepala, berdiri tegak di atas kotak
kayu, dapat digerakkan-gerakkan dengan tarikan tali-temali melalui kotak
kayu yang
terhubung ke badan, kepala tangan dan pinggang patung. Setiap kali Raja
rindu dan
terkenang akan putranya, ia memerintahkan orang untuk memainkan
Sigale-gale
dengan iringan gondang, sebagai pelipur lara seolah anaknya hidup
kembali.
Meskipun patung Sigale-gale
aslinya sudah tidak ada, namun warisan karya seni dan pertunjukan Sigale-gale ini
masih dapat disaksikan di Tomok, Pulau Samosir.
Sigale-gale berasal dari kata “gale” artinya lemah, lesu, lunglai. Sigale-gale=silemah lunglai.
Sigale-gale berasal dari kata “gale” artinya lemah, lesu, lunglai. Sigale-gale=silemah lunglai.
Selasa, 01 Januari 2013
BONANG MANALU & SITIGA BOLIT
Sitiga Bolit pada Patung Sigale-gale (Foto, 2010) |
Bonang Manalu adalah tiga benang berwarna putih, merah dan hitam yang dijalin atau dipilin menjadi satu kesatuan, sebagai hiasan pada tongkat ukir tunggal panaluan dan juga berfungsi sebagai sarana magis untuk suatu ritual maupun metode pengobatan tradisional Batak. Bonang artinya benang dan manalu (berasal dari kata ma dan tolu) artinya tiga menyatu/dalam satu kesatuan.
Sitiga Bolit adalah tiga benang dijalin secara teratur menjadi satu (bonang manalu) dengan ukuran tertentu digunakan untuk ikat yang melilit di kepala, seperti bentuk serban. Tiga
(sitiga) artinya tiga, dan bolit artinya belit, belitan, pilinan, atau jalinan.
PAKPAK, SUKU PAKPAK
Pakpak termasuk dalam salah satu
sub etnik Batak, jika ditinjau dari persamaan adat, seni budaya, adat dan
konsep religinya.* Namun perlu pembuktian lebih lanjut keterkaitan
keturunan dengan suku Batak dari Pusuk Buhit, Toba.
Menurut Suku Pakpak leluhur mereka bernama Kada dan Lona berasal
dari Indika Tondal, India Selatan yang terdampar di Barus. Putra
mereka bernama Hiang kemudian menikah dengan Putri Raja
Barus, dan lahirlah 7 (tujuh) putra dan 1 (satu) putri, yaitu:
- Mahaji (Kerajaan di Banua Harhar), turunannya a.l. Padang, Berutu, Solin
- Perbaju Bigo (Kerajaan Simbllo di Silaan)
- Ranggar Jodi (Kerajaan Jodi Buah Leuh dan Nangan Nantampuk Emas)
- Mpu Bada, turunannya a.l. Manik, Beringin, Banurea, Siberasa
- Raja Pako, (Sicike-cike) turunannya Si Pitu Marga: Ujung, Angkat, Bintang, Capah, Sinamo, Kudadiri dan Gajah Manik.
- Bata, turunannya a.l. Tinambunen, Tumangger, Anakampun
- Sanggar, turunannya a.l. Meka, Mungkur,
- Suari (putri) menikah dengan Putra Raja Barus, tinggal di Lebbuh Ntua (Lobu Tua)
Suku Pakpak terbagi dari 5 (lima) kelompok (suak) disebut Pakpak Silima
Suak berdasarkan wilayah komunitas marga dan dialek bahasa,
yaitu:
- Pakpak Simsim: Wilayah Kab. Pakpak Barat, Sumut, a.l. marga: Bancin, Banurea, Berutu, Boangmanalu, Cibro, Kabeaken, Lembeng, Manik, Padang Batanghari, Sinamo, Sitakar, Solin, Tendang, Tinadang
- Pakpak Keppas: Wilayah Kab. Dairi, Sumut, a.l. marga: Angkat, Bako, Bintang, Brampu, Capah, Kudadiri, Maha, Sinamo, Pardosi, Ujung.
- Pakpak Pegagan: Wilayah Kec. Sumbul, Kec. Pegagan Hilir, Kec. Tigalinga di Kab. Dairi Sumut, a.l. marga: Lingga, Maibang, Manik, Matanari, Siketang.
- Pakpak Kelasen: Wilayah Kec. Barus; Kab. Humbahas Sumut, a.l. marga: Anakampun, Gajah Berasa, Kesogihen, Maharaja, Meka, Mungkur, Siketang, Tinambunen, Tumangger.
- Pakpak Boang: Wilayah Kab. Singkil & kota Sabulusalam, NAD, a.l. marga: Saraan, Sambo, Penarik.
Suak membawahi Kuta (Kampung) yang dikepalai
oleh Pertaki atau Happung (Kepala Kampung). Struktur di bawah Kuta
adalah Lebbuh yang terdiri dari satu klan marga. Satu Kuta
terdiri dari beberapa Lebbuh.
Adat dan struktur sosial kekerabatan Suku Pakpak
yang disebut Sulang Silima, terdiri dari lima unsur yaitu
*:
- Perisang-isang (Sinina pertama: anak sulung, kerabat semarga keturunan atau generasi tertua)
- Pertulan-tengah (Sinina kedua: anak tengah, kerabat semarga keturunan atau generasi yang ditengah)
- Perekur-ekur (Sinina bungsu: anak bungsu, kerabat semarga keturunan terbungsu)
- Perpunca Ndiadep / Puang Kula-kula (kerabat pemberi gadis)
- Perbetekken / Berru (kerabat penerima gadis)
MARTUTU AEK
Martutu aek [1] adalah pembabtisan
dengan air kepada seorang anak yang baru lahir (sekitar usia tujuh hari) dengan
membawanya ke homban (mata air di tengah ladang), kemudian dilanjutkan
dengan acara adat memberikan nama bayi. Si ibu menggendong anaknya
dengan ulos ragi idup didampingi oleh ayahnya beserta kerabat, sanak
saudara. Bila bayinya laki-laki turut di bawa hujur (tombak) sebagai simbol
laki-laki, jika
perempuan baliga (perkakas
tenun berbentuk seperti sisir). Tiba di tepi homban, bayi diletakkan di atas gundukan pasir, dibentangkan beralaskan ulos
gendongan.
Datu menciduk air dan memandikan bayi dalam
keadaan telanjang. Diiringi tangis bayi, diucapkan: “sai lam
tu toropnama soara ni anak dohot boru tu joloan on“ (semoga makin ramai
suara anak dan boru di masa mendatang)
maksudnya sebagai pengharapan agar keturunan suku Batak semakin banyak, baik
laki-laki dan perempuan.
Bayi kemudian dibawa kembali ke
rumah, dilanjutkan dengan acara pemberian nama. Nama dipertimbangkan
dengan cermat, karena Suku Batak meyakini nama dan tondi harus
sejalan. Jika mambuat goar ni Ompu atau membuat
nama seperti nama Ompung atau leluhurnya, harus mendapat persetujuan dari
seluruh keturunan saompu (satu leluhur). Setelah mendapat doa restu
keluarga dan sanak saudara, maka syahlah nama anak tersebut, dilanjut makan
bersama seluruh keluarga sebagai ungkapan syukur.
EME (PADI)
Eme (foto, 2012) |
Eme adalah padi. Padi merupakan tanaman budidaya masyarakat
Batak tradisional, baik di hauma (persawahan atau perladangan menanam padi), balian
(sawah), juma (ladang bercocok tanam berbagai jenis palawija dan juga padi),
saba (sawah), uma (sawah, ladang; parumaon= pertanian).
Jenis-jenis padi di tanah Batak: eme sianse (narara dohot na bontar/yang
merah atau putih), siansimun, sidengke, sigaolgaol,
sijame, sijarum, simpin tali, siompis, sipahantan, sipendek, sipijoni, sipulut,
sirutas, sisiam, sitabmun, sitamba, sirusa.
Beberapa umpasa dan umpama yang menggunakan kata “eme”:
Eme
na masak digagat ursa
Ia
i na masa, i ma na niula
Padi menguning dimakan rusa
Apa yang lazim itulah
dilakukan (bersikaplah sesuai tata krama yang ada)
Eme
sitamba tua, parlinggoman ni siborok
Debata
ma na martua, horas ma hita diparorot
atau
untuk baris keduanya:
(Debata do silehon tua, sai luhutna ma hita
diparorot)
Padi sitamba tua, tempat
nenaungannya anak kodok
Tuhanlah yang mulia, sejahteralah kita terlindungi
(Tuhanlah yang memberikan tuah,
kita seluruhnya dilindungi)
Eme na marbiur, di lambung ni hariara;
Sai torop ma pomparanmu maribur, huhut matangkang marjuara
Padi yang
berbulir (bernas), di samping pohon beringin
Kiranya banyak dan ramailah keturunanmu yang juga tegas, cerdik dan unggul
Gakgak eme na lambing, unduk eme na porngis
Mencongak padi yang hampa, menunduk padi yang berisi.
Diibaratkan
akan orang yang suka menonjolkan atau membanggakan diri (sok pintar, sok
kaya) tetapi sebenarnya tidak ada apa-apanya. Sebaliknya orang yang
benar-benar pintar lagi bijaksana (kaya raya) tetapi tidak
menonjol-nonjolkan kelebihannya.
TORTOR
Tortor = tarian adat Batak, diiringi musik tradisional "gondang." Tortor artinya juga tari; manortor, manontor (dibaca manottor) = menari; manortori = menari-nari.
Tortor diadakan pada saat pesta adat, upacara kematian (untuk saurmatua dan maulibulung)* maupun acara ritual.
Penari tortor
mengenakan ulos, dan melakukan gerakan tangan dan kaki selaras dengan
iringan musik. Adakalanya sambil menggerakkan kepala dan meliuk-liukkan
tubuh dalam irama yang sesuai. Tortor dimulai dengan tangan yang
menyembah di atas kepala kepada Yang Maha Kuasa, kemudian sikap "sembah"
hormat kepada para hadirin yang dihormati.
Tortor dengan posisi
kedua telapak tangan dirapatkan seperti membentuk sembah, digerakkan
turun naik di depan dada persis berada di tengah dilakukan kaum pria.
Di beberapa daerah tertentu (dahulu), bagi
ibu-ibu, telapak tangan membentuk sembah berada di kiri atau di kanan
dan bergantian, sebagai pertanda sudah menikah, sedangkan apabila
posisinya di tengah dada, dilakukan kaum wanita yang belum berkeluarga.
ANAK NA BURJU
Lagu ini menggambarkan kisah: kasih dan ungkapan syukur orangtua
atas keberhasilan Putranya yang tersayang dalam mencapai cita-cita, setelah
menuntut ilmu di perantauan. Jika
diingat tingkah laku si anak, terkadang orangtuanya cemas, tetapi ternyata setelah di perantauan, putra
kesayangannya menjadi anak yang lebih baik, selalu ingat pesan orangtua, tabah,
tekun, giat dan selalu berdoa kepada Sang Maha Pencipta sehingga berhasil
mencapai cita-citanya, dan sukses dalam kehidupan
Berikut syair lagu Anak
na Burju dan terjemahannya:
Anak na Burju
Anakhu na burju, anak
hasianhu, anakhu na lagu
Ingot do ho Amang di angka podani, natuatuami
Dung hupaborhat ho, namarsingkola i, tu luat na dao i Amang
Benget do ho Amang, benget do ho, manaon na dangol i
Ingot do ho Amang di angka podani, natuatuami
Dung hupaborhat ho, namarsingkola i, tu luat na dao i Amang
Benget do ho Amang, benget do ho, manaon na dangol i
Molo huingot do, sude
tahe Amang, pangalahom na salpu i
Sipata lomos do,
natuatuamu on, di sihabunian i
Hutangianghon do, mansai gomos Amang, anggiat muba rohami
Dijalo do Amang, dijalo do, … tangianghi Amang
Hutangianghon do, mansai gomos Amang, anggiat muba rohami
Dijalo do Amang, dijalo do, … tangianghi Amang
Reff :
Ipe Amang, hasianhu, anakhu na burju
Pagomosma tangiang mi, tu Mula Jadi Nabolon i
Anggiat ma ture, sude hamu pinomparhi Amang
Marsiaminaminan marsitungkoltungkolan, songon suhat di robean i..
Dung lam dao Amang,pangarantoanmi, anak hasianhu
Dihaburjuonho do i sude Amang, di tano sileban i
Mauliate ma, ta dok tu Tuhan i, di naung jinalomi Amang,
Jumpang mu do Amang, jumpang mu do, na jinalahanmi,
Ipe Amang, hasianhu, anakhu na burju
Pagomosma tangiang mi, tu Mula Jadi Nabolon i
Anggiat ma ture, sude hamu pinomparhi Amang
Marsiaminaminan marsitungkoltungkolan, songon suhat di robean i..
Dung lam dao Amang,pangarantoanmi, anak hasianhu
Dihaburjuonho do i sude Amang, di tano sileban i
Mauliate ma, ta dok tu Tuhan i, di naung jinalomi Amang,
Jumpang mu do Amang, jumpang mu do, na jinalahanmi,
Reff.
Anak yang Baik Hati
Anakku yang baik hati, anak kesayanganku, anakku yang budiman
Ternyata kamu ingat, Putraku, segala nasihat orangtuamu
Setelah kuberangkatkan kamu, bersekolah, ke tempat yang jauh,
Putraku.
Betapa kamu sabar dan tabah, Putraku, menanggung segala penderitaan
Jika teringat semuanya Putraku, tingkahlakumu yang lalu
Terkadang orangtuamu menyimpan rasa kekhawatiran,
Tetapi kudoakan dengan sungguh, Putraku, semoga engkau berubah
Ternyata dikabulkan, Putraku, doaku terkabul, Putraku
Reff.
Maka itu Putraku, kesayanganku, anakku yang baik hati
Semakin eratkanlah doamu kepada
Sang Maha Pencipta
Kiranya mencapai keberhasilan kalian semua keturunanku, Putraku
Saling membantu, saling mendukunglah ibarat talas di kebun lereng
gunung
Ketika kamu jauh di perantauanmu Putraku, anak kesayanganku
Engkau sungguh melaksanakan segala pesanku Putraku, di negeri
orang
Terimakasihlah, kita haturkan kepada Tuhan, atas apa yang telah
kamu terima, Putraku
Sungguh tercapai olehmu Putraku, tergapai olehmu, apa yang kamu
cita-citakan
Begitulah
kasih sayang dan kebahagiaan orang tua terhadap anaknya, seperti
ungkapan, "mate-mate di anak do rohani halak Batak," artinya kasih
sayang orang tua Batak, melebihi nyawanya sendiri.
Keterangan:
- Dalam bahasa Batak, terdapat perbedaan penulisan dan cara membaca beberapa kosa kata Seperti dalam lagu ini: ditulis anakhu dibaca anakku, selanjutnya angka = akka; hasianhu = hasiakku; singkola = sikkola; hutangianghon = hutangiakkon; tungkol = tukkol; pangarantoan = pangarattoan. Bedakan dengan kata "amang" tidak dibaca amak; begitu juga kata dasar “tangiang” tidak dibaca tangiak.
- Pengertian "Amang" adalah Ayah atau Bapak, tetapi Amang digunakan juga sebagai panggilan sayang orang tua (Bapak atau Ibu) kepada putranya.
- Kosa kata Batak sangat luas pengertiannya, sehingga jika diterjemahkan dalam bahasa Indonesia dapat mempersempit cakupan maknanya. Seperti kata “burju” artinya baik, baik hati, tulus, rajin, sungguh-sungguh. Pengertian “burju” sebenarnya tergantung pada konteks kalimat dan situasi yang dimaksudkan. Seseorang dikatakan “burju atau na burju” adalah orang yang santun, berperangai baik, rajin, sungguh-sungguh dalam melaksanakan sesuatu, dan tulus hati. Bandingkan juga dengan pengertian “lagu atau na lagu” yaitu: murah hati, berbudi pekerti, ramah tamah, penuh pengertian, pintar menempatkan diri.
SUKU BATAK KETURUNAN DEWATA
Diagram: Manusia Pertama Batak di Banua Ginjang |
Suku
Batak adalah keturunan Dewata, demikian menurut turi-turian Batak. Bermula dari mitologi kelahiran
manusia pertama (Batak) di Banua Ginjang, atas kuasa Sang Maha Pencipta, Ompu
Mulajadi Na Bolon, yakni, laki-laki dari dari 3 (tiga) butir telur dan
perempuan dari 3 (tiga) ruas bambu yang diasuh oleh Manuk Patiaraja (Hulambujati) dan
Manuk Mandoangmandoing. Di
beberapa literatur, tidak dijelaskan adanya manuk Mandoangmandoing hanya Manuk
Patiaraja (Hulambujati).
Manusia pertama ini tinggal di Banua
Ginjang (surgaloka), dan
mereka adalah Debata (Dewata),yaitu: Batara Guru, Soripada dan Mangala
Bulan. Ompu Mulajadi Na Bolon kemudian menjadikan pasangan hidup dan
pendamping yang sepadan dari ruas bambu, yakni S. Parmeme, S. Parorot dan S.
Panuturi. Dari pernikahan tersebut, lahirlah keturunan putra dan putri
sebagaimana diuraikan pada diagram.
Putra O.T. Soripada yaitu Raja Indapati alias Raja Endaenda
menikah dengan putri O.T. Batara Guru, Siboru Deang Parujar, lahirlah Raja Ihat
Manisia [2a]. Generasi berikutnya berturut-turut adalah Raja Miok-miok
- Eng Banua - Eng Domia (Raja Bonang-bonang) - Raja Tantan Debata dan Si Raja Batak.
Pada awalnya Siboru Deang Parujar tidak bersedia dinikahkan dengan
Si Raja Enda-enda. Pengingkaran akan ini, maka manusia tidak lagi hidup
bersama Dewata di Banua Ginjang tetapi tinggal di Banua Tonga. Suratan
kehidupan, dan "sudah berjodoh" akhirnya Raja Endaenda menikah dengan
Siboru Deang Parujar.[2b]
Tentu saja bahwa "Suku Batak Keturunan Dewata" tidak
diartikan secara harfiah begitu saja, dan bukan sikap
superioritas Batak atas kesukuannya. Ada nilai-nilai dalam bentuk perandaian
(partudosan) seperti telah diuraikan pada makna di balik
Mitologi Batak (klik di sini). Turi-turian tersebut merupakan bentuk pesan
moral, nasihat dan didikan kepada keturunan Batak dalam menghormati, menghargai
leluhur bersikap terhadap orang tua.
Kini dalam kehidupan sehari-hari
di keluarga, dan juga dalam syair lagu Batak masih terdapat istilah : "orang
tua (Ayah dan Ibu atau Daamang
dohot Dainang) adalah debata
na ni ida atau debata
na tarida (dewata yang dilihat, dewata yang tampak), atau "daamang da inang i do debata
na ni ida".
Tidak ada komentar:
Posting Komentar