MARGA SEBAGAI IDENTITAS
Berkaitan dengan Marga
Batak Toba, sebelumnya telah diuraikan tentang:
Selanjutnya bahwa:
Pusuk Buhit lebih tepat dikatakan sebagai asal mula munculnya marga-marga
Batak, bukan sebagai asal mula suku Batak (Toba), karena jauh sebelum bermukim
di Sianjurmula-mula (di kaki Pusuk Buhit), sejak abad SM, Batak telah dikenal
sebagai suku pribumi Sumatra.
Sehubungan
dengan MARGA pada sejarah dan tradisi Suku Karo, Toba dan Simalungun sebagai
berikut:
- Merga Silima di Suku Karo pada awal mulanya tidak "semua" dari satu nenek moyang, tetapi pembentukan kelompok masyarakat dengan identitas pemersatu, yaitu Merga. Selanjutnya Merga ini dipakai sebagai nama keluarga turun-temurun dari keturunan identitas kelompok tersebut.
- Pemahaman Suku Toba bahwa marga-marga Toba berasal dari satu leluhur Si Raja Batak. Tetapi terdapat juga adat "mangampu" dan "mangain" untuk mengangkat seseorang yang bukan keturunan marga menjadi anggota marga dan tradisi ini ada sampai kini.
- Bagi suku Simalungun: "Sin Raja sini Purba, Sin Dolog sini Panei, Naija pe lang marubah, asal na marholong atei.” Terjemahannya: Dari Raya atau dari Purba, dari Dolog atau dari Pane, dari manapun asalnya tidaklah dipermasalahkan, yang penting saling mengasihi. Sebagaimana sejarah mencatat bahwa Marga dari Toba Samosir yaitu Silau Raja, Ambarita Raja, Limbong & Manik awalnya sebagai kaum pendatang yang membaur menjadi marga-marga di Simalungun. Mereka diterima sebagai salah satu marga di Simalungun (Damanik, Purba, Sinaga, Saragih).
Dari
informasi di atas, dalam sejarah, tradisi atau adat Suku Karo, Toba dan
Simalungun bahwa merga atau marga-marga tidak selalu berasal dari satu leluhur
yang sama. Keturunan dari suku lain dapat diterima sebagai merga atau marga
bagi sukunya, sebagai bagian dari keluarga "merga atau marga."
Marga sebagai identitas untuk mengetahui posisi dalam tutur kekerabatan dan adat, bukan sebagai kasta, tingkat derajat, status sosial atau superioritas satu dengan lainnya.
RAJA SISINGAMANGARAJA I-XII
Tugu Makam Raja Sisingamangaraja X dan XI di Lumban Raja, Bakara (Foto 2010) |
Inilah nama-nama Raja Sisingamangaraja I - XII dari Bakara :
Sisingamangaraja
I Raja Manghuntal Sinambela
Sisingamangaraja
II Ompu Raja Tinaruan Sinambela
Sisingamangaraja III Raja
Itubungna Sinambela
Sisingamangaraja IV Tuan
Sorimangaraja Sinambela
Sisingamangaraja V Raja
Pallongos Sinambela
Sisingamangaraja VI Raja Pangulbuk
Sinambela
Sisingamangaraja VII Ompu Tuan Lombut Sinambela
Sisingamangaraja VIII Raja Ompu Sohalompoan Sinambela
Sisingamangaraja IX Raja Ompu
Sotaronggal Sinambela
Sisingamangaraja X Raja Si Lompo Ompu Sinambela
(Ompu Tuan Nabolon Sinambela)
(Ompu Tuan Nabolon Sinambela)
Sisingamangaraja XI Raja Ompu
Sohahuaon Sinambela
Sisingamangaraja XII Raja Patuan Bosar Sinambela
(Raja Ompu Pulo Batu Sinambela)
GURU PATIMPUS
Silsilah Keluarga Guru Patimpus |
Guru
Patimpus, adalah cucu dari Sisingamangaraja I, Raja
Manghuntal dari Bakara. Menurut Riwayat Hamparan Perak sebagai berikut: "Alkisah
kata sahibul hikayat suatu cerita dahulu kala seorang Raja bernama Singa Mahraja memerintah di negeri Bakerah." (Singa Mahraja dimaksud adalah Sisingamangaraja dan negeri Bakerah adalah Negeri Bakara).
Sisingamangaraja
I mempunyai dua putra, Tuan Mandolang, putra I, terpilih menjadi
Sisingamangaraja II menggantikan ayahnya. Putra kedua, Tuan Si Raja Hita
perpamitan dan meminta doa restu kepada ayahnya Sisingamangaraja I untuk pergi
ke negeri lain, bersama pengikutnya bermaksud untuk mendirikan kerajaaan
baru. Bertahun ia berjalan sampai di Gunung Si Bayak (Gunung Sibayak), dataran
tinggi Karo, dan dibuatlah nama kampung itu Karo
Sepuluh Dua Kuta.
Tuan
Si Raja Hita mendirikan beberapa kerajaan untuk anaknya Pakan dan Balige,
tetapi Timpus putra sulungnya tidak bersedia
menjadi Raja dan lebih suka berpetualang mencari dan mengadu ilmu, ia kemudian
dipanggil orang Guru Patimpus.*
Guru
Patimpus menikah dengan putri raja Ketusing. Dari pernikahan ini lahir enam
putra, dan satu putri (putri ini dinikahkan dengan Raja Tangging). Setiap
lahir putra dibukanya kampung yang diberi nama sesuai nama anaknya yaitu: Benara, Kuluhu, Batu,
Salahan, Paropa dan Liang Tanah.
Guru
Patimpus mendengar bahwa di Karo terjadi huru-hara. Dia datang ke Karo dan tiba
di Ajei Jahei. Dia mendamaikan raja-raja yang
bertikai, dan kemudian tinggal dan menikah di sana, lahirlah putranya pertama, Si Gelit, dan kedua Si Jahei yang menjadi raja di Ajei Jahei.
Guru
Patimpus menikah lagi dengan putri Kepala Pulau Berayan bermarga Tarigan, dan setelah itu ia membuka dan
mendirikan kota Medan sekitar tahun 1590, sebagai pusat pemerintahan
kerajaannya dan dilanjutkan dengan putranya Hafiz
Muda.
Jumat, 18 Mei 2012
SILSILAH BAKARA
Dari Leluhur Si Raja Batak (sekitar tahun
1200-an), ke garis keturunan (sundut/dibaca suddut), Si Raja Oloan adalah
generasi ke-5. Si Raja Oloan diperkirakan membuka Huta Bakara sekitar abad
ke-14 awal (sekitar tahun 1320-an). Dinamakan Bakara sesuai nama
putra sulungnya dari Siboru Pasaribu (isteri kedua).
Bakara, generasi ke-6 dari Si Raja Batak, mempunyai tiga putra:
1. Bakara Dolok (Bakara Uruk)
2. Bakara Tonga (Bakara Tonga-tonga)
3. Bakara Toruan (Bakara Tinaruan)
MUNCULNYA MARGA BATAK
Jika
ditelusuri silsilah (tarombo) keturunan Si Raja Batak, marga belum
muncul pada generasi putranya. Penyandang marga kepada keturunannya,
dimulai dari cucu si Raja Batak (generasi ke-3), putra ke 3, 4 dan 5
Guru Tatea Bulan. Kemudian dari garis keturunan Raja Isumbaon baru
muncul pada generasi ke-5 dari keturunan Tuan Sorbadijulu dan Tuan
Sorbadibanua dan generasi ke-6 cucu dari Sorbadijae, sebagaimana pada
uraian berikut:
Munculnya Marga Batak
pada Silsilah Si Raja Batak
:
Generasi 2 : Putra Raja Batak
1. Guru Tatea Bulan, 2. Raja Isumbaon
Generasi 3 : Putra dari Guru Tatea Bulan: Putra dari Raja Isumbaon:
1. Raja Biak-biak 1. Sorimangaraja
2. Saribu Raja 2. Raja Asiasi
3. Limbong 3. Sangkar Somalidang
4. Sagala Keterangan:Raja Asiasi dan Sangkar Somalidang pergi
5. Malau merantau tidak menurunkan marga Batak.
Generasi 4 : Putra Sorimangaraja:
1. Raja Sorbadijulu (Nai Ambaton)
3. Tuan Sorbadibanua (Nai Suanon)
Generasi 5 : Cucu Sorimangaraja dari
Generasi 5 : Cucu Sorimangaraja dari
1. Keturunan Sorbadijulu:
1. Simbolon
2. Tamba
3. Saragi *)
4. Munte *)
2. Keturunan Sorbadijae **)
- Mangatur
- Mangarerak
3. Keturunan Tuan Sorbadibanua
1. Sibagot Ni Pohan (Pohan)
2. Sipaettua
3. Silahi Sabungan (Silalahi)
4. Si Raja Oloan
5. Si Huta Lima
6. Si Raja Sobu (Sobu)
7. Naipospos
Generasi 6 : Keturunan dari Raja Mangatur
1. Sitorus
2. Sirait
3. Sibutar (Butar-butar)
_______________________________________________________________________________
Keterangan : Warna Merah sebagai awal munculnya marga
Catatan : Perlu masukan dan diluruskan karena terdapat perbedaan pendapat, yaitu:
*) antara Saragi dan Munte (siapa yang siampudan?)
**) Menurut sumber lain:
a) Sorbadijae disebut juga Raja Mangarerak mempunyai putra R. Mardopang;
b) Pendapat lain: Putra Sorbadijae bernama Raja Mangarerak, dari putra ini lahir
Manurung
_______________________________________________________________________________
Mengapa
demikian? Adanya marga-marga ini bermula dari "konflik" internal
keluarga Guru Tatea Bulan, yakni pada "turi-turian" tentang incest Saribu
Raja dengan saudari kembarnya Siboru Pareme, sehingga adik-adiknya
Limbong, Sagala dan Malau bersepakat agar peristiwa ini tidak terulang
kembali pada keturunannya.
Begitu juga incest antara
Siboru Pareme dengan putranya Si Raja Lontung, di mana Si Raja Lontung
tidak mengetahui bahwa wanita yang dijumpainya adalah ibu kandungnya
sendiri. Oleh karena itu maka dipesankan: "Jolo tinitip sanggar bahen huru-huruan, jolo sinungkun marga asa binoto partuturan," *)
"Kemungkinan"
kisah di belahan Guru Tatea Bulan ini sebagai latar belakang dan
"isyarat" untuk tidak terjadi "perkawinan" sedarah, sehingga perlu "marga" **)
sebagai identitas melekat pada suatu garis keturunan yang sama, dan
tradisi ini diikuti juga oleh pihak keturunan Raja Isumbaon yang bermula
pada generasi ke-5.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar